Bu Guru Mita & Pak Guru Ahmad
Malam ini telah sepi. Hanya
suara gemricik air yang seakan berirama dari dalam kamar mandi. Jam digital itu
memang sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Wajah sudah mulai lusuh. Rasa itu tak
bisa membohongi kenyataan. Namun, malam ini masih berteman dengan sederet
catatan amanah yang harus diselesaikan. Sesekali mata ini melirik diantara
sudut kanan yaitu segelas kopi hitam. Kejenuhan itu ku obati dengan membuka dan
menyusuri sudut demi sudut gambar dan tulisan. Membuka pengalaman tidak harus
dalam warna-warni lampu kota serta ramainya pemandangan nyata. Berbekal leptop
tua ini, aku menyusuri dunia maya yang terus memberikan gambaran tentang
ramainya di luar sana. Tak ada batas untuk belajar. Dimanapun kita berada,
kapan pun waktunya, selalu ada ilmu yang mahal harganya yang tidak kita jumpai
dalam bangku pendidikan atau pun gedung-gedung akademis.
Tangan kananku yang setia
menyentuh mouse merah itu sesekali menscroll kebawah untuk melihat dinding
facebook yang terus terpenuhi oleh gambar. Sontak dan tak sengaja membaca
status bu doktor Riana yang pernah menjadi dosenku beberapa bulan yang
lalu. Beliau memang tidak asing dalam etalase pikirku karena selain menjadi
dosen di kampusku, kadang bersinggungan saat berurusan dengan pekerjaanku. Dalam
status yang ia tulis di dinding facebooknya, beliau menceritakan tentang
kejadian yang menimpanya saat perjalanan ke Surabaya beberapa waktu yang lalu. Saat
mengemudikan kendaraannya, tiba-tiba ia menabrak sebuah pembatas di jalan tol
karena pedal gas yang ia injak semakin menambah kecepatan dan tak mampu
mengendalikannya. Al hasil kejadian tersebut membuat mobilnya harus terhenti. Aku
cukup terbengong saat membaca satu demi satu kata dalam statusnya. Kepanikan yang
menimpa dirinya membuat beliu panik dan juga anak-anaknya. Namun, di akhir
tulisannya ia menuliskan bahwa emosi itu menular. Saat beliau panik, wajah
anak-anaknya pun panik. Saat beliau menyapa gembira untuk menanyakan tentang
kelanjutan perjalanannya dengan wajah yakin dan gembira, anak-anaknya pun langsung
gembira. Itulah sebuah suasana yang dapat membius dan menular kepada siapa yang
ada di depannya.
Cerita bu doktor Riana itu
membuat memory otakku kembali kepada dua orang yaitu bu guru Mita dan pak guru
Ahamad. Mereka adalah teman seperjuanganku dalam mengemban amanah disebuah
sekolah swasta di Kota Magelang. Mereka telah membuka memori lamaku yang
tersimpan dalam etalase pikir malam ini. Bu guru Mita merupakan guru BK yang
pernah mengikuti penulisan artikel bersamaku yang diselenggarakan oleh media
cetak saat itu. Kami berdua diutus oleh principle kami untuk mengikuti acara
tersebut mewakili sekolah. Tugas terakhir dalam pelatihan tersebut adalah
mengajukan judul yang akan dikoreksi oleh direktur media.
“Mau nulis apa bu?”, kataku
sambil kebingungan mencari inspirasi. Nampaknya ia sudah punya ide. Secarik kertas
di depannya telah terisi goresan pena yang tersulap dalam kata-kata. Sambil senyum-senyum
ia berkata : “Perlukah point kedisiplinan untuk mengurangi pelanggaran siswa?”,(katanya sembari menunjukkan kepadaku).
Aku bertanya lagi : “Apa alasan
anda memilih judul itu?”, (sambil penasaran)
Bu guru Mita kembali
menjelaskan bahwa selama ini keberadan point kedisiplinan masih menyisakan
cerita. Masih ada pelanggaran siswa yang belum mengurangi efek jera.
“Ooo……berarti hipotesis
anda adalah point kedisiplinan belum maksimal ya”, tanyaku kembali
Tak banyak yang ia menjawab.
Hanya kode senyuman yang menjadikan logikaku berbicara.
Memori ini kembali terngiang
dalam cerita beberapa waktu yang lalu dari pak guru Ahmad. Ia bertanya padaku
saat sore kala itu.
“Kemarin ngajar di kelas
umar?”, katanya sembari menatapku.
“Betul pak, gimana?”,
sahutku dengan perasaan penasaran.
“Tidak apa-apa, kebetulan
kemarin saya masuk dikelasnya dan membahas tentang sabar dalam mencari ilmu”, ceritanya sambil ketawa.
“Hmmm…….pasti anak-anak
cerita kalau kemarin saya marah karena tidak membawa tugas ya pak?”,
konfirmasiku kepada pak guru Ahmad.
Saat itu pula pikiran itu terus
terbayang. Marah……kata sederhana yang menyisakan kenangan. Luka, membekas,
mengkristal. Semua menjadi satu dalam memori yang sulit terlupakan. Menjadi guru
memang bukan sekedar mengajar. Namun, ada misi besar yaitu mempersiapkan
peradaban dimasa yang akan datang. Setiap kebaikan yang kita luapkan, pasti aka
nada kebaikan lain yang tersebar. Sebaliknya, kejahatan yang kita goreskan akan
melahirkan kejahatan yang lainnya.
Tentang Penulis :
Fury Fariansyah, Lahir di Jepara, 26 April 1991
Penulis merupakan salah satu penggiat literasi di media online.
0 Response to "Bu Guru Mita & Pak Guru Ahmad"
Post a Comment