Sastra Mingguan : Tuhan Izinkan Aku Mencuri
Foto : Ilustrasi mencuri waktu |
Hujan dipagi ini telah menyapa saat kaki ini kian melangkah dalam amanah. Menjemput rizki dalam ridho-Nya diantara rutinitas pekerjaan.
"Ah.....hujan lagi", kataku sembari membuka jendela.
Setelah sekian lama mentari menyapa penduduk bumi, hingga sebagian rumput pun mengering. Tapi, tidak. Semua adalah curahan nikmat yang telah Tuhan desain dengan jemari kuasa-Nya. Hari ini kulihat disekolah tempat aku mengabdi penuh dengan kegiatan. Pagi-pagi sembari mengecek anak yang mau lomba, telinga ini terdengar dering handphone yang berisi pesan panggilan pak kepala sekolah.
Alhasil, kami diajak breafing. Masih saja mata ini melihat mereka yang rapat, menyambut tamu dari UII Yogyakarta, dan aku pun mendapat amanah mendampingi lomba orasi anak di SMA Taruna Nusantara Magelang. Ku intip sejenak dimasjid sekolah, kedua anak itu nampak sujud dan yang putri melepas mukenanya.
Kataku dalam hati : "Oh Tuhan......betapa malu wajahku dalam kacamata-Mu. Dia anak sekecil itu masih ingat tentang secarik doa yang terselib sebelum lomba".
Air mata ini seakan tak mau membohongi wajahku. Meski sudah kutahan, akhirnya sedikit mengalir diatas pipiku. Ku usap sejenak dengan telapak tangan kasar ini.
Najmi dan Akmal namanya, mereka memang terkenal anak yang santun. Bahkan, mata ini sering melihat wajahnya di shof pertama jika shalat berjamaah. Ku ayunkan tangan ini memanggil dirinya dari tempat sujudnya tadi. Dengan semangat mereka menyambangi dan mencepatkan langkanya.
"Aku sudah siap pak. Semalam saya sudah minta doa dengan ibu dan ayah. Semalam juga aku sudah tahajud. Semoga menang ya pak meski kita latihan terlalu singkat", kata Najmi sembari menggendong tasnya.
Ku anggukkan kepala dengan sedikit guratan senyum. Menghela nafas dengan trenyuh. Batinku mengatakan, semoga kelak kau kirimkan putri yang sesolihah itu Ya Rab.
Akmal pun kembali menyentuh tanganku.
"Ayo pak, kita siap lomba", katanya sembari mengumbar wajah bahagianya.
Terceletukkan kata keku pada keduanya.
"Sana, mohon doa restu dengan pak kepala sekolah dulu. Semoga kita juara ya nak", kataku sembari memakai sepatu.
Kuda besi berwarna biru tua itu menjadi teman perjalanan. Sesampai disana ternyata crowded. Tapi tak apa, mereka turun berdua ku minta registrasi. Sempat khawatir karena setelah saya memakirkan mobil wajahnya tak di menjumpai. Ku sisir disetiap sudut keramaian di kampus SMA Taruna Nusantara. Lagi-lagi tak nampak wajahnya. Aku pun menyambangi lelaki berseragam biru. Dia adalah panitia lomba yang ada dilokasi.
"Pak, boleh tanya dimana gedung perpustakannya ya pak", kataku sembari tergopoh.
"Siap, saya antar pak", jawab ramahnya.
Dan yang membuatku iri disini adalah dengan tulus dia mengantar. Sungguh, ini yang namanya pelayanan prima. Aku pun sampai digedung baca. Ku tenggok diantara deretan meja kursi wajah Najmi dan Akmal. Alhamdulillah, ternyata dia sudah menulis materi lomba orasi. Sembari ku telan ludah dan menghela nafas penuh tenang. Dalam hati ku katakan : "subhanallah, hebkau memanga hebat nak".
Aku mencoba duduk disebuah ruang kosong. Mencari meja dan terminal listrik. Pagi itu, handphone saya ternyata baterainya drop. Sembari saya cas, ku teguk air putih yang menyejukkan pikir. Sembari menunggu mereka lomba, ku buka buku catatanku hari ini. Masih banyak amanah ternyata yang harus terus disentuh. Lembar demi lembar ku buka dan mulai ku sentuh. Mencuri waktu dalam amanah disetiap perjalanan kehidupan. Bukan tentang mencuri milik orang. Namun, sesungguhnya Tuhan sedang menguji kita seberapa amanah dalam setiap kepercayaan. Mencuri waktu diantara kesibukan dan terus menebar manfaat.
*Penulis : Fury Fariansyah, S. PdI
0 Response to "Sastra Mingguan : Tuhan Izinkan Aku Mencuri"
Post a Comment